Integrasi Kebijakan
dan Perencanaan SDA
Pengembangan Ekonomi
Lokal melalui Pengembangan Parawisata Alam
Kawasan Wisata Alam
Sungai Namu Sira Sira
Sumatera
Utara-Indonesia
KAWASAN WISATA ALAM SUNGAI NAMU SIRA SIRA
SUMATERA UTARA - INDONESIA
Disusun Oleh :
1. MULIA ARIF RAKHMANN HARAHAP
2. MANDA YULIAN
3. IKHSAN
4. BENNY SIMANJUNTAK
5. ANGGREANI DACHI
6. EDY NOVIAR
KEGIATAN PARAWISATA ALAM
1. GAMBARAN UMUM
LOKASI STUDI KAWASAN WISATA ALAM SUNGAI NAMU SIRASIRA
Namu Sira Sira, merupakan suatu objek wisata yang berbasis alam, dengan
daya tarik utama adalah sungainya. Objek wisata ini berada di Kecamatan Sei
Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Terletak 20 KM dari kota Binjai
(Sumatera Utara) dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat
dalam waktu lebih kurang 45 menit Sekitar 18 km dari Binjai atau 30 menit
berkendara roda empat, kita akan menemukan sebuah tempat wisata asri. Ia
dinamakan Pemandian Alam Pangkal Namu Sira-Sira, terletak di Desa Blinteng dan
Durian Lingga, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Pemandiaan alam ini sebenarnya adalah Bendungan Irigasi Namu Sira-Sira,
yang dibangun untuk mengairi sawah petani, air yang jernih dan bersih serta
pesona alam yang indah membuat bendungan irigasi itu menjadi salah satu objek
wisata yang ramai dikunjungi pada hari libur. Namu Sira Sira, menyajikan
kesegaran dan kesejukan udaranya. Walaupun kawasan ini merupakan proyek
bendungan irigasi yang mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah, tapi lokasi
ini cukup indah untuk dikunjungi. Karena, selain memiliki derasnya arus air
sungai di bendungan irigasi, namun juga memiliki keindahan panorama alam yang
masih asri. Selain melihat pemandangan bendungan irigasi namu Sira-Sira, sobat
juga bebas memanjakan diri di hulu sungai yang dangkal berbatu. Menikmati
derasnya arus Sungai Bingai yang membelah Kecamatan tersebut. Yang tidak kalah
penting, bisa menikmati kesejukan air sungai, bagi yang gemar berolah raga
rafting (arung jeram) juga bisa menguji adrenalin di tempat tersebut. Obyek wisata pemandian Pangkal Namu Sirasira
Kecamatan Sei Bingei mulai ramai dikunjungi wisatawan lokal dari Binjai, Medan
maupun daerah sekitarnya setiap hari
pada
masa lalu, siapa yang bisa menduga warga Kecamatan Sei Bingai bisa memiliki
irigasi yang mutifungsi seperti Bendungan Namu Sira-Sira. Dimasa itu, sistem
cocok tanam belum serempak. Warga menanam padi suka-suka sesuai selera
masing-masing. Akibatnya, kerap terjadi selisih paham antarwarga karena
memperebutkan aliran Sungai Bingai untuk mengairi sawah mereka. Kondisi tersebut berubah saat Presiden
Soeharto melakukan pertemuan dengan warga di Pasar IV Namu Terasi tepat pada
hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1986. Mendengar masukan warga, Pak Harto pun
mengeluarkan kebijakan untuk merehabilitasi irigasi Namu Sira-Sira dan
membangun bendungan.
Kini warga bisa merasakan banyak manfaat dari keberadaan Bendungan tersebut. Selain bisa memperoleh air untuk sawah mereka, warga pun bisa menabur benih ikan di sepanjang saluran irigasi.
Kini warga bisa merasakan banyak manfaat dari keberadaan Bendungan tersebut. Selain bisa memperoleh air untuk sawah mereka, warga pun bisa menabur benih ikan di sepanjang saluran irigasi.
Setiap
satu pintu air mewakili satu kelompok karena di sepanjang saluran irigasi ini
terdapat beberapa pintu air. Pada waktu yang disepakati, warga memanen ikan
bersama-sama. Setiap anggota kelompok akan mendapatkan hasil panen sesuai
kontribusi masing-masing. Kegiatan panen bersama ini bahkan menjadi tradisi
yang mengundang wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Singkatnya, Bendungan telah menjadi sentra ekonomi yang meningkatkan taraf
hidup warga sekitar khususnya dan Kabupaten Langkat umumnya. Proyek
pembangunan jaringan irigasi selama Orde Baru mampu mengairi 1,7 juta hektar
lahan sawah. Tapi kini, 52 persen jaringan itu rusak dan sisanya hanya mampu
mengairi 800 ribu hektar, hal itu di akibatkan kurangnya perhatian dari pihak
pemerintah dan pengembang.
2. KEGIATAN PARIWISATA ALAM DI SUNGAI NAMU SIRASIRA
a. Daya Tarik
Namu Sira Sira
Namu Sira Sira memiliki banyak daya tarik yang membuat banyak sekali orang yang
tertarik untuk berkunjung kesana. Seperti sungainya, sungai di Namu Sira Sira
ini sangat bagus, dengan air yang sangat bersih karena air di sungai ini
berasal langsung dari pegunungan Leuser. Sungai di Namu Sira Sira juga memiliki
banyak bebatuan sehingga sangat cocok dimanfaatkan untuk aktivitas mandi
seperti tubing dan rafting. Kondisi alam yang baik juga menambah baiknya objek
wisata ini. Karena keberadaan objek ini yang sangat dekat dengan Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL).
b. Fasilitas
Namu Sira Sira
Terletak di areal Bendungan
Namu Sira Sira - Kabupaten Langkat. Sekitar 40 km dari kota Medan dan dari
Binjai sekitar 20 km. Explore Camp - BInge River memiliki fasilitas
kunjungan yang relatif lengkap dengan suasana yang asri dan nyaman. Camp ini memiliki fasilitas pondok pertemuan
sekaligus merangkap pondok makan yang dapat menampung 100 pengunjung, Fasilitas
toilet dan shower juga tersedia untuk melayani kebutuhan pengunjung.
Terdapat lapangan yang juga berfungsi sebagai camping ground berkapasitas 150
orang. Fasilitas lain yang tersedia adalah :
- Areal
parkir yang luas
-
Mushalla
-
Kantin
-
Souvenir Shop
-
Field Paintball
c. Akses menuju
Namu Sira Sira
Akses menuju lokasi terbilang tidak sulit. Karena kondisi jalan pun cukup baik,
sebagian besar jalan berjenis aspal. Belum ada transportasi umum yang menuju
lokasi, jadi wisatawan hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi. Apabila titik
berangkat kita dari kota Medan, maka pertama tama kita harus mengendarai
kendaraan kita ke arah Kampung Lalang, lalu arahkan kendaraan menuju ke Kota
Binjai. Sesampainya di Kota Binjai, maka kita akan mendapati persimpangan Tugu
(50 meter setelah BSM). Belok kiri dan terus berkendara sekitar 30 menit, maka
kita akan tiba dilokasi objek wisata Namu Sira Sira.
3. PENGEMBANGAN
EKONOMI LOKAL MELALUI PENEMBANGAN PARIWISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT
Partisipasi
masyarakat lokal merupakan komponen penting dari pembangunan berkelanjutan pada
umumnya untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang, sekaligus
melindungi sumber daya alam. Istilah partisipasi lokal di sini adalah kemampuan
masyarakat lokal untuk mempengaruhi hasil dari proyek-proyek pembangunan seperti
pengembangan wisata yang berdampak pada mereka (Drake 1991) dalam Purnamasari
(2011). Masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam pengembangan desa wisata
mulai dari awal perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Penerapan
ekowisata sendiri perlu melibatkan masyarakat lokal karena ini berkaitan dengan
peningkatan kualitas dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh
karena itu, agar tercipta sumberdaya alam yang lestari sekaligus meningkatnya
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, maka dalam pengembangan desa
wisata sangat memerlukan partisipasi masyarakat lokal.
Salah satu konsep yang menjelaskan peranan komunitas dalam pembangunan
pariwisata adalah Community Based Tourism (CBT). Secara konseptual
prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan
kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya
diperuntukkan bagi masyarakat.Sasaran utama pengembangan kepariwisataan
haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).Konsep Community
Based Tourism (CBT) lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan
pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara
aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata.Tujuan yang ingin
diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan
nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan. Trend dunia
global saat ini pengembangan community based Tourism telah dibakukan
sebagai alat dan strategi pembangunan tidak hanya terbatas di bidang
pariwisata, melainkan dalam konteks pembangunan Negara, dengan membuka
kesempatan dan akses komunitas untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Community Based Tourism adalah konsep
yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami
nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat,
masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas
tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi aset dan nilai tersebut
menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep Community
Based Tourism, setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi
bagian dalam rantai ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi
keterampilan untuk mengembangkan small business.
Anstranddalam Janianton Damanik (2006:84) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT)
sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan
lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk
komunitas. Anstrand mencoba melihatCommunity Based Tourism (CBT) bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan
kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi ‘induced
impact’ dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Suansri (2003:14)
menguatkan definisiCommunity Based Tourism(CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan,
sosial dan budaya dalam komunitas.Community Based Tourism(CBT) merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.
Pantin dan Francis (2005:2) menyusun definisiCommunity
Based Tourism(CBT) sebagai integrasi dan kolaborasi antara pendekatan dan alat (tool)
untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan
dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas.
Demartoto dan Sugiarti (2009:19) mendefinisikan CBT sebagai pembangunan
pariwisata dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Sedangkan menurut penulis konsep pengembangan CBT adalah pengembangan
pariwisata yang mensyaratkan adanya akses, partisipasi, control dan manfaat
bagi komunitas dalam aspek ekonomi, social, budaya, politik dan
lingkungan.
Prinsip dasar Community Based Tourism(CBT) menurut UNEP dan WTO (2005) sebagai berikut. (1) mengakui, mendukung dan
mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata ; (2) mengikutsertakan
anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) mengembangkan kebanggaan
komunitas; (4) mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) menjamin
keberlanjutan lingkungan; (6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di
area lokal ; (7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran
budaya pada komunitas; (8) menghargai perbedaan budaya dan martabat
manusia; (9) mendistribusikan keuntungan secara adil kepada
anggota komunitas ; dan (10) berperan dalam menentukan prosentase
pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek-proyek
yang ada di komunitas.
Dengan mengacu pada prinsip dasar dari CBT dari UNEP dan
WTO
Suansri(2003:21-22) mengembangkan 5prinsipyang merupakan aspekutamadalam
pengembangan Community Based Tourism(CBT). Pertama, prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya
dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di
sektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Kedua, prinsip
sosial dengan indikator terdapat peningkatan kualitas hidup, adanya
peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara
laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme
penguatan organisasi komunitas. Ketiga, prinsip budaya dengan
indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda,
mendorong berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan
yang melekat erat dalam budaya lokal. Keempat, prinsip lingkungan
dengan indikator pengembangan carryng capacity area, terdapat
sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya
keperdulian tentang pentingnya konservasi. Kelima, prinsip
politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan partisipasi dari
penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas
yang lebih luas dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak
masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kelima prinsip tersebut menurut Suansri
merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan
PrinsipCommunity Based Tourism(CBT) yang disampaikan Suansri memiliki spektrum yang cukup luas. Prinsip
Dalam prinsip ekonomi misalnya Suansri tidak hanya membahas terciptanya
lapangan kerja dan timbulnya pendapatan masyarakat namun juga memperlihatkan
perlunya dana komunitas atau dana bersama yang dapat bermanfaat untuk seluruh
komunitas baik yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata atau tidak. Dalam prinsip ekonomi, Suansri mengembangkan spektrum Community Based Tourism(CBT) tidak hanya terkait dengan anggota komunitas yang berkaitan langsung
dalam industri pariwisata tetapi seluruh komunitas sebagai sebuah
kesatuan. Dalam hal ini Suansri tidak hanya memikirkan kebutuhan praktis
(jangka pendek) komunitas tetapi juga kebutuhan strategis (jangka panjang).
Dalam prinsip social Suansri juga
mempertimbangkan kebutuhan strategis komunitasa yaitu mencapai kualitas
hidup yang lebih baik melalui pengembanggan pariwisata. Dalam kualitas hidup
tercakup aspek pendidikan dan kesehatan sebagai investasi bagi kualitas
komunitas ke depan. sementara untuk kebutuhan praktis Suansri melihat
pentingnya keadilan gender, keterlibatan semua generasi dan peningkatan
kebanggaan lokal. Dengan demikian spectrum yang diangkat Suansri
mewakili sebagian unsur dalam komunitas yaitu gender dan lintas generasi. Dalam
pandangannya Suansri melihat bahwa komunitas merupakan kesatuan dari berbagai
unsur yang membentuk yaitu individu dengan berbagai latar belakang. Suansri
melihat aspek yang jarang diperhatikan ahli lain dalam melihat komunitas yaitu
aspek gender yang terkait dengan peran-peran yang dikonstruksi masyarakat
terhadap laki-laki dan perempuan terkait dengan pengembangan pariwisata.
Prinsip budaya dari Suansri juga melihat aspek budaya secara
mendalam yaitu adanya budaya pembangunan yang berkembang dengan adanya
pengembangan pariwisata, terjadi pertukaran budaya dan penghormatan terhadap
budaya lain. Sedangkan prinsip politik yang dijadikan indikator oleh Suansri
mencakup spectrum internal dan eksternal. Internal berkaitan dengan
komunitas itu sendiri yaitu adanya partisipasi local dan perluasan
kekuasaan komunitas. Sedangkan mekanisme yang menjamin hak komunitas
local dalam ppengelolaan SDA merupakan aspek eksternal yang melibatkan regulasi
pemerintah dan stakeholder lainnya.
Dari prinsip lingkungan Suansri memiliki perhatian khusus
pada keperdulian pada konservasi tidak hanya berkaitan dengan pengembangan daya
dukung lingkungan dan sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Disini
Suansri memiliki pandangan tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam
melakukan konservasi pada lingkungan di destinasi wisata.
Menurut Suansri (2003:14) ada beberapa prinsip dari community based tourism yang harus
dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam
pariwisata.
2. Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata
dalam berbagai aspeknya.
3. Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.
4. Meningkatkan kualitas kehidupan.
5. Menjamin keberlanjutan lingkungan.
6. Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.
7. Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.
8. Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.
9.
Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh
secara proporsional kepada anggota masyarakat.
10. Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu
dari pendapatan yang diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.
11. Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.
Sementara itu prinsip penyelenggaraan
kepariwisataan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2009, Bab III pasal 5 adalah :
1. Menjunjung tinggi norma agama
dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan
antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama
manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan.
2. Menjunjung tinggi hak asasi
manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
3. Member manfaat untuk
kesejateraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proposionalitas.
4. Memelihara kelesatarian alam dan lingkungan
hidup.
5. Memberdayakan masyarakat setempat.
6. Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah,
antara pusat dan daerah dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam
kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan.
7. Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan
kesepakatan internasional dalam bidang kepariwisataan ; dan
8. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pariwisata berbasis masyarakat (community bassed tourism)
dikembangkan berdasar prinsipkeseimbangan dan keselarasan antar kepentingan
steakeholder pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta, dan
masyarakat.Secara ideal prinsip pembangunan pariwisata berbasis masyarakat
menekan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk
masyarakat”. Dalam setiap tahapan pembangunan, yang dimulai dari perencanaan,
pembangunan dan pengembangan sampai dengan pengawasan (monitoring) dan
evaluasi, masyarakat setempat harus dilibat secara aktif dan diberikesempatan
untuk berpartisipasi karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejateraan
dan kualitas hidup masyarakat.
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat berperan disemua lini pembangunan baik perncana, investor,
pengelola, pelaksana, pemantau maupun evaluator. Namun demikian meskipun
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada faktor masyarakat
sebagai komponen utama, keterlibatan lain seperti pemerintah dan swasta sangat
diperlukan. Masyarakat setempat atau yang tinggal di daerah tujuan wisata
sangat mempunyai peran yang amat penting dalam menjunjung keberhasilan
pembangunan pariwisata di daerahnya.
Peran serta masyarakat di dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang
berpotensi untuk menjadi daya tarik wisata tidak dapat diabaikan.Dalam konteks
ini yang sangat penting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan
mengikut sertakan mereka dalam berbagai kegiatan pembangunan pariwisata.Untuk
itu pemerintah sebagi fasilitator dan steakholder lainnya harus dapat
mengimbaukan dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar bersedia
berpartisipasi aktif dalam pembangunan pariwisata. Walaupun tidak berarti bahwa
masyarakat setempat memiliki hak mutlak, pembanguan pariwista berbasis
masyarakat tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, atau
hanya dimanfaatkan, serta merasa terancam dengan kegiatan pariwisata di daerah
mereka.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat menuntut kordinasi dan kerja
sama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur steakholder, termasuk
pemerintah, swasta dan masyarakat. Disamping itu, pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat diarahkan untuk mengurangi tekanan terhadap objek dan daya
tarik wisata sehingga pembangunan pariwisata dapat dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.Dalam hal ini masyarakat setempat
harus disadarkan atas potensi yang dimiliki sehingga mereka mempunyai rasa ikut
memiliki (sense of belonging) terhadap berbagai aneka sumber daya alam
dan budaya sebagai aset pembangunan pariwisata.
Secara
konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai
kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya
diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (setempat). Konsep Community Based Tourism lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan
pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara
aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata. Tujuan yang ingin
diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan
nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.
Secara garis besar prinsip CBT (community bassed tourism) dapat dibagi menjadi 3 aspek yaitu berkaitan dengan
akses, control dan manfaat pengembangan pariwisata bagi komunitas.Aspek akses
berkaitan dengan kemampuan komunitas menjangkau/terlibat/bersentuhan dengan
pengembangan pariwisata. Akses dapat diperoleh komunitas melalui kepemilikan
lahan dan adanya usaha kecil yang dimiliki/dikembangkan komunitas. Aspek
kontrol berkaitan erat dengan keterlibatan komunitas dalam proses pengambilan
keputusan, sebagai indikator adanya kekuasaan dan daya tawar secara politis
pada komunitas. Kontrol atas pengembangan pariwisata dapat dikembangkan
melalaui mekanisme pemeliharaan modal sosial, berperannya lembaga lokal,
ketahanan budaya dan kearifan lokal. Modal sosial adalah sumber daya internal,
yang diperkuat melalaui peran lembaga lokal sebagai simbol kekuasaan. Ketahanan
budaya adalah modal untuk beradaptasi dengan perubahan yang timbul dari
kedatangan wisatawan. Kearifan lokal merupakan instrument komunitas untuk
beradaptasi dengan perubahan namun tetap mempertahankan karakteristik lokal.
Aspek manfaat adalah output yang diharapkan dari pengembangan agrowisata dimana
komunitas yang lebih banyak menerima hasil kedatangan wisatawan. Indikator
manfaat yang dirasakan komunitas adalah partisipasi komunitas dalam lapangan
kerja dan lapangan usaha baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Agar akses
dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan agrowisatasustainablekomunitas
perlu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan operasional maupun manajerial
usaha
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar
baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan
masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk
wisata. D’amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat, yakni;
1. Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan
penduduk lokal (resident)
2. Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal
3. Pelibatan penduduk lokal dalam industri
4. Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan
5. Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan
yang luas
6. Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal
7. Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum
pengembangan yang lebih jauh
Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community
approach. Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati
keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang
mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci
mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki.
4. KESIMPULAN DAN
SARAN
Salah satu
prinsip kepariwisataan yang terkandung dalam Undang-undang No 10 Tahun 2009
tentang kepariwisataan adalah memberdayakan masyarakat setempat dimana
masyarakat berhak berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan dan berkewajiban
menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; serta membantu terciptanya suasana
aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan
destinasi pariwisata. Keikutsertaan masyarakat juga dijelaskan secara eksplisit
dijelaskan dalam UU RI No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan yang menyatakan
bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan
kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan
perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Pengembangan wisata sendiri tentunya
melalui beberapa tahapan dari tahapan (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3)
pengelolaan atau pemanfaatan, (4) menikmati hasil dan (5) evaluasi. Semua
tahapan tersebut tidak terlepas dari adanya peran atau kontribusi yang
diberikan oleh beberapa pihak terutama masyarakat sekitar kawasan wisata.
Brandon (1993) dalam Dalimunthe (2007) mengatakan perencanaan dan pengembangan
pariwisata harus melibatkan masyarakat secara optimal melalui musyawarah dan
mufakat setempat. Bentuk Partisipasi masyarakat meliputi enam kriteria, yakni:
1. Melibatkan
masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan
pengembangan ekowisata.
2. Membuka
kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapat keuntungan
dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata.
3. Membangun
hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan
pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.
4. Meningkatkan
keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan
menunjang pengembangan ekowisata.
5. Mengutamakan
peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat pendapatan (leakage) serendah-rendahnya, dan
6. Meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Secara umum partisipasi dapat dimaknai
sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan
pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pelestarian. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau
objek belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan. Hal ini
menandakan bahwa ada atau tidaknya partisipasi dari masyarakat merupakan salah
satu kunci penting dari suatu keberhasilan program pengembangan wisata di suatu
kawasan. Dalam penerapannya partisipasi masyarakat dipengaruhi faktor-faktor
yang dapat mendukung maupun menghambat. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor
internal maupun eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat
berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti mencakup umur, status warga,
jenis kelamin, status pekerjaan, tingkat pendidikan atau tingkat pengetahuan,
agama, budaya dll. sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat berasal dari luar kendali masyarakat itu sendiri,
seperti mencakup kondisi lingkungan sosial dan masyarakat, kondisi cuaca,
peraturan, perizinan, finansial, keterlibatan stakeholder (pemerintah daerah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh
masyarakat dan fasilitator) dll.
Selain faktor internal dan eksternal adapula faktor penghambat dan
pendukung. Terkait faktor penghambat dan
pendukung sendiri mencakup faktor internal dan faktor ekternal itu sendiri yang
mampu memberikan masyarakat berupa dorongan atau sebaliknya untuk berpartisipasi
masyarakat. Menurut, Tosun
(2000) hambatan partisipasi mayarakat dibagi kedalam tiga bagian: (1) hambatan operational seperti, keengganan pemegang
saham terhadap berbagi kekuasaan, sentralisasi administrasi publik, dan
kurangnya informasi. (2) Tipe hambatan structural
yaitu: Dominasi Elite, Kurangnya sumber daya keuangan, Sikap profesional, dan
Kurangnya hukum yang sesuai sistem. (3) Tipe hambatan cultural/budaya yaitu: Terbatasnya kemampuan masyarakat orang
miskin, Apatis, dan rendahnya tingkat kesadaran di komunitas lokal.
Melalui
pengembangan Desa Wisata, masyarakat di pedesaan, khususnya pedesaan yang
memiliki potensi daya tarik berupa alam maupun budaya, diberi wawasan mengenai
Kepariwisataan, diberi kemampuan untuk mengambil manfaat dari keberadaan
potensi dan daya tarik desanya. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang memiliki
dampak dinamis yang luas dimana berbagai usaha dapat tercipta melalui kegiatan
pariwisata. Komponen utama dalam kegiatan pariwisata adalah daya tarik wisata
yang didukung oleh komponen lainnya, antara lain; transportasi, akomodasi,
restoran, atraksi budaya dan cenderamata. Komponen tersebut menyediakan
fasilitas dan layanan secara langsung dalam memenuhi kebutuhan wisatawan yang
berkunjung ke suatu destinasi pariwisata.
Melalui partsipasi
masyarakat dalam pengembangan desa wisata, secara langsung maupun tidak
langsung dapat berdampak pada peningkatan ekonomi di wilayah pengembangan desa
wisata itu sendiri. Dampak positif yang muncul dari adanya dampak ekonomi dapat
bersifat langsung (direct). Selain dampak positif langsung yang muncul, ada
dampak lain yang akan timbul, seperti dampak tidak langsung (indirect impact).
Menurut Tibout yang dikutip oleh Yoeti (2008) dampak pariwisata bagi
perekonomian lokal pun sangat tinggi, karena uang yang dibelanjakan wisatawan
merupakan uang segar (fresh money) bagi perekonomian lokal yang dapat
mempengaruhi perekonomian setempat dan dapat langsung dinikmati oleh
masyarakat. Dampak pariwisata dilihat dari segi perekonomian nasional (macro
economic) dapat dilihat dari dua segi (Yoeti, 2008) yaitu:
1.
Dampak
langsung yang ditimbulkan pariwisata dilihat dari segi
ekonomi
(the direct effect that tourism usually has on the economy).
Indikator
untuk hal ini diantaranya:
·
Neraca Pembayaran (Its effect on Balance of Payment)
·
Kesempatan kerja (Its effect on employment)
·
Pemerataan Pendapatan (Its effect on the redistribution of income)
2.
Dampak
secara tidak langsung (The Indirect Effect) yang ditimbulkan
kegiatan
pariwisata sebagai suatu industri. Di antaranya berupa:
·
Hasil pelipatgandaan (Multiplier Effect) yang ditimbulkannya.
·
Pemasaran terhadap produk-produk tertentu yang berkaitan dengan
pariwisata.
·
Penerimaan pajak pemerintah.
·
Dampak “peniruan” yang dapat mempengaruhi masyarakat banyak.