Cari Blog Ini

Jumat, 24 November 2017

Tugas Kuliah Integrasi Kebijakan dan Sumber Daya SDA


Integrasi Kebijakan dan Perencanaan SDA
Pengembangan Ekonomi Lokal melalui Pengembangan Parawisata Alam


Kawasan Wisata Alam Sungai Namu Sira Sira
Sumatera Utara-Indonesia












KAWASAN WISATA ALAM SUNGAI NAMU SIRA SIRA
SUMATERA UTARA - INDONESIA



Disusun Oleh :
1. MULIA ARIF RAKHMANN HARAHAP
2. MANDA YULIAN
3. IKHSAN
4. BENNY SIMANJUNTAK
5. ANGGREANI DACHI
6. EDY NOVIAR


KEGIATAN PARAWISATA ALAM

1.  GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI KAWASAN WISATA ALAM SUNGAI NAMU SIRASIRA

Namu Sira Sira, merupakan suatu objek wisata yang berbasis alam, dengan daya tarik utama adalah sungainya. Objek wisata ini berada di Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Terletak 20 KM dari kota Binjai (Sumatera Utara) dan bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dalam waktu lebih kurang 45 menit Sekitar 18 km dari Binjai atau 30 menit berkendara roda empat, kita akan menemukan sebuah tempat wisata asri. Ia dinamakan Pemandian Alam Pangkal Namu Sira-Sira, terletak di Desa Blinteng dan Durian Lingga, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Pemandiaan alam ini sebenarnya adalah Bendungan Irigasi Namu Sira-Sira, yang dibangun untuk mengairi sawah petani, air yang jernih dan bersih serta pesona alam yang indah membuat bendungan irigasi itu menjadi salah satu objek wisata yang ramai dikunjungi pada hari libur. Namu Sira Sira, menyajikan kesegaran dan kesejukan udaranya. Walaupun kawasan ini merupakan proyek bendungan irigasi yang mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah, tapi lokasi ini cukup indah untuk dikunjungi. Karena, selain memiliki derasnya arus air sungai di bendungan irigasi, namun juga memiliki keindahan panorama alam yang masih asri. Selain melihat pemandangan bendungan irigasi namu Sira-Sira, sobat juga bebas memanjakan diri di hulu sungai yang dangkal berbatu. Menikmati derasnya arus Sungai Bingai yang membelah Kecamatan tersebut. Yang tidak kalah penting, bisa menikmati kesejukan air sungai, bagi yang gemar berolah raga rafting (arung jeram) juga bisa menguji adrenalin di tempat tersebut. Obyek wisata pemandian Pangkal Namu Sirasira Kecamatan Sei Bingei mulai ramai dikunjungi wisatawan lokal dari Binjai, Medan maupun daerah sekitarnya setiap hari
pada masa lalu, siapa yang bisa menduga warga Kecamatan Sei Bingai bisa memiliki irigasi yang mutifungsi seperti Bendungan Namu Sira-Sira. Dimasa itu, sistem cocok tanam belum serempak. Warga menanam padi suka-suka sesuai selera masing-masing. Akibatnya, kerap terjadi selisih paham antarwarga karena memperebutkan aliran Sungai Bingai untuk mengairi sawah mereka.  Kondisi tersebut berubah saat Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan warga di Pasar IV Namu Terasi tepat pada hari Ulang Tahun ABRI, 5 Oktober 1986. Mendengar masukan warga, Pak Harto pun mengeluarkan kebijakan untuk merehabilitasi irigasi Namu Sira-Sira dan membangun bendungan.
Kini warga bisa merasakan banyak manfaat dari keberadaan Bendungan tersebut. Selain bisa memperoleh air untuk sawah mereka, warga pun bisa menabur benih ikan di sepanjang saluran irigasi.
Setiap satu pintu air mewakili satu kelompok karena di sepanjang saluran irigasi ini terdapat beberapa pintu air. Pada waktu yang disepakati, warga memanen ikan bersama-sama. Setiap anggota kelompok akan mendapatkan hasil panen sesuai kontribusi masing-masing. Kegiatan panen bersama ini bahkan menjadi tradisi yang mengundang wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Singkatnya, Bendungan telah menjadi sentra ekonomi yang meningkatkan taraf hidup warga sekitar khususnya dan Kabupaten Langkat umumnya. Proyek pembangunan jaringan irigasi selama Orde Baru mampu mengairi 1,7 juta hektar lahan sawah. Tapi kini, 52 persen jaringan itu rusak dan sisanya hanya mampu mengairi 800 ribu hektar, hal itu di akibatkan kurangnya perhatian dari pihak pemerintah dan pengembang.

2. KEGIATAN PARIWISATA ALAM DI SUNGAI NAMU SIRASIRA
a. Daya Tarik Namu Sira Sira
    Namu Sira Sira memiliki banyak daya tarik yang membuat banyak sekali orang yang tertarik untuk berkunjung kesana. Seperti sungainya, sungai di Namu Sira Sira ini sangat bagus, dengan air yang sangat bersih karena air di sungai ini berasal langsung dari pegunungan Leuser. Sungai di Namu Sira Sira juga memiliki banyak bebatuan sehingga sangat cocok dimanfaatkan untuk aktivitas mandi seperti tubing dan rafting. Kondisi alam yang baik juga menambah baiknya objek wisata ini. Karena keberadaan objek ini yang sangat dekat dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

b. Fasilitas Namu Sira Sira
          Terletak di areal Bendungan Namu Sira Sira - Kabupaten Langkat. Sekitar 40 km dari kota Medan dan dari Binjai sekitar 20 km.  Explore Camp - BInge River memiliki fasilitas kunjungan yang relatif lengkap dengan suasana yang asri dan nyaman.   Camp ini memiliki fasilitas pondok pertemuan sekaligus merangkap pondok makan yang dapat menampung 100 pengunjung, Fasilitas toilet dan shower juga tersedia untuk melayani kebutuhan  pengunjung. Terdapat lapangan yang juga berfungsi sebagai camping ground berkapasitas 150 orang.  Fasilitas lain yang tersedia adalah :
 - Areal parkir yang luas
 - Mushalla
 - Kantin
 - Souvenir Shop
 - Field Paintball

c. Akses menuju Namu Sira Sira
    Akses menuju lokasi terbilang tidak sulit. Karena kondisi jalan pun cukup baik, sebagian besar jalan berjenis aspal. Belum ada transportasi umum yang menuju lokasi, jadi wisatawan hanya bisa menggunakan kendaraan pribadi. Apabila titik berangkat kita dari kota Medan, maka pertama tama kita harus mengendarai kendaraan kita ke arah Kampung Lalang, lalu arahkan kendaraan menuju ke Kota Binjai. Sesampainya di Kota Binjai, maka kita akan mendapati persimpangan Tugu (50 meter setelah BSM). Belok kiri dan terus berkendara sekitar 30 menit, maka kita akan tiba dilokasi objek wisata Namu Sira Sira. 

3. PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL MELALUI PENEMBANGAN PARIWISATA ALAM BERBASIS MASYARAKAT


Partisipasi masyarakat lokal merupakan komponen penting dari pembangunan berkelanjutan pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan mendatang, sekaligus melindungi sumber daya alam. Istilah partisipasi lokal di sini adalah kemampuan masyarakat lokal untuk mempengaruhi hasil dari proyek-proyek pembangunan seperti pengembangan wisata yang berdampak pada mereka (Drake 1991) dalam Purnamasari (2011). Masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam pengembangan desa wisata mulai dari awal perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Penerapan ekowisata sendiri perlu melibatkan masyarakat lokal karena ini berkaitan dengan peningkatan kualitas dan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Oleh karena itu, agar tercipta sumberdaya alam yang lestari sekaligus meningkatnya kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, maka dalam pengembangan desa wisata sangat memerlukan partisipasi masyarakat lokal.
Salah satu konsep yang menjelaskan peranan komunitas dalam pembangunan pariwisata adalah Community Based Tourism (CBT). Secara konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat.Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat).Konsep Community Based Tourism (CBT) lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata.Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan. Trend dunia global saat ini pengembangan community based Tourism telah dibakukan sebagai alat dan strategi pembangunan tidak hanya terbatas di bidang pariwisata, melainkan dalam konteks pembangunan Negara, dengan membuka kesempatan dan akses komunitas untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Community Based Tourism adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi aset dan nilai tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan. Melalui konsep Community Based Tourism, setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi bagian dalam rantai ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk mengembangkan small business.
Anstranddalam Janianton Damanik (2006:84) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand mencoba melihatCommunity Based Tourism (CBT) bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi ‘induced impact’ dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Suansri (2003:14) menguatkan definisiCommunity Based Tourism(CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas.Community Based Tourism(CBT) merupakan alat  bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.
     Pantin dan Francis (2005:2) menyusun definisiCommunity Based Tourism(CBT) sebagai  integrasi dan kolaborasi  antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas.  Demartoto dan Sugiarti (2009:19) mendefinisikan CBT  sebagai pembangunan pariwisata dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat.  Sedangkan menurut penulis konsep pengembangan CBT adalah pengembangan pariwisata yang mensyaratkan adanya akses, partisipasi, control dan manfaat bagi komunitas dalam aspek  ekonomi, social, budaya, politik dan lingkungan.
      Prinsip dasar Community Based Tourism(CBT) menurut UNEP dan WTO (2005) sebagai berikut. (1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata ; (2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal ; (7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang  pertukaran budaya  pada komunitas; (8) menghargai perbedaan budaya dan  martabat manusia; (9) mendistribusikan keuntungan secara adil kepada   anggota  komunitas ; dan (10) berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan)    dalam proyek-proyek yang ada di komunitas.
Dengan mengacu pada prinsip dasar dari CBT dari UNEP dan WTO    Suansri(2003:21-22) mengembangkan 5prinsipyang merupakan aspekutamadalam pengembangan Community Based Tourism(CBT). Pertama, prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan di  sektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Kedua, prinsip sosial  dengan indikator terdapat peningkatan kualitas hidup, adanya peningkatan kebanggaan  komunitas, pembagian peran yang adil antara laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme  penguatan organisasi komunitas. Ketiga,  prinsip budaya  dengan indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, mendorong  berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan yang  melekat erat dalam budaya lokal. Keempat,  prinsip lingkungan dengan indikator pengembangan  carryng capacity area, terdapat sistem  pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya  keperdulian  tentang pentingnya  konservasi. Kelima, prinsip  politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan  partisipasi dari penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas yang  lebih luas  dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kelima prinsip tersebut  menurut Suansri  merupakan wujud  terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan
  PrinsipCommunity Based Tourism(CBT) yang disampaikan  Suansri memiliki spektrum yang cukup luas. Prinsip Dalam prinsip ekonomi misalnya Suansri tidak hanya membahas terciptanya lapangan kerja dan timbulnya pendapatan masyarakat namun juga memperlihatkan perlunya dana komunitas atau dana bersama yang dapat bermanfaat untuk seluruh komunitas baik yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata atau tidak. Dalam prinsip ekonomi, Suansri mengembangkan spektrum Community Based Tourism(CBT) tidak hanya terkait dengan  anggota komunitas yang berkaitan langsung dalam industri pariwisata tetapi seluruh komunitas sebagai sebuah kesatuan.  Dalam hal ini Suansri tidak hanya memikirkan kebutuhan praktis (jangka pendek) komunitas tetapi juga kebutuhan strategis (jangka panjang).
   Dalam prinsip  social  Suansri juga mempertimbangkan  kebutuhan strategis komunitasa yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik melalui pengembanggan pariwisata. Dalam kualitas hidup tercakup aspek pendidikan dan kesehatan sebagai investasi bagi kualitas komunitas ke depan. sementara untuk kebutuhan praktis Suansri melihat pentingnya keadilan gender, keterlibatan semua generasi dan peningkatan kebanggaan lokal. Dengan demikian spectrum yang diangkat Suansri mewakili sebagian unsur dalam komunitas yaitu gender dan lintas generasi. Dalam pandangannya Suansri melihat bahwa komunitas merupakan kesatuan dari berbagai unsur yang membentuk yaitu individu dengan berbagai latar belakang. Suansri melihat aspek yang jarang diperhatikan ahli lain dalam melihat komunitas yaitu aspek gender yang terkait dengan peran-peran yang dikonstruksi masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan terkait dengan pengembangan pariwisata.
 Prinsip budaya dari  Suansri juga melihat aspek budaya secara mendalam yaitu adanya budaya pembangunan yang berkembang dengan adanya pengembangan pariwisata, terjadi pertukaran budaya dan penghormatan terhadap budaya lain. Sedangkan prinsip politik yang dijadikan indikator oleh Suansri mencakup spectrum internal dan eksternal. Internal berkaitan dengan komunitas itu sendiri yaitu  adanya partisipasi local dan perluasan kekuasaan komunitas. Sedangkan  mekanisme yang menjamin hak komunitas local dalam ppengelolaan SDA merupakan aspek eksternal yang melibatkan regulasi pemerintah dan stakeholder lainnya.
   Dari prinsip lingkungan Suansri memiliki perhatian khusus pada keperdulian pada konservasi tidak hanya berkaitan dengan pengembangan daya dukung lingkungan dan sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Disini Suansri memiliki pandangan tentang pentingnya partisipasi semua pihak dalam melakukan konservasi pada lingkungan di destinasi wisata.
Menurut Suansri (2003:14) ada beberapa prinsip dari community based tourism yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :
1.    Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam pariwisata.
2.    Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam berbagai aspeknya.
3.   Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.
4.   Meningkatkan kualitas kehidupan.
5.   Menjamin keberlanjutan lingkungan.
6.   Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.
7.   Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.
8.   Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.
9.    Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional kepada anggota masyarakat.
10. Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh untuk proyek pengembangan masyarakat.
11.  Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.

Sementara itu prinsip penyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, Bab III pasal 5 adalah :
1.    Menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan.
2.    Menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
3.   Member manfaat untuk kesejateraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proposionalitas.
4.  Memelihara kelesatarian alam dan lingkungan hidup.
5.  Memberdayakan masyarakat setempat.
6.  Menjamin keterpaduan antarsektor, antar daerah, antara pusat dan daerah dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan.
7.  Mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang kepariwisataan ; dan
8. Memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pariwisata berbasis masyarakat (community bassed tourism) dikembangkan berdasar prinsipkeseimbangan dan keselarasan antar kepentingan steakeholder pembangunan pariwisata termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.Secara ideal prinsip pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekan pada pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat, untuk masyarakat”. Dalam setiap tahapan pembangunan, yang dimulai dari perencanaan, pembangunan dan pengembangan sampai dengan pengawasan (monitoring) dan evaluasi, masyarakat setempat harus dilibat secara aktif dan diberikesempatan untuk berpartisipasi karena tujuan akhir adalah untuk meningkatkan kesejateraan dan kualitas hidup masyarakat.
Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat berperan disemua lini pembangunan baik perncana, investor, pengelola, pelaksana, pemantau maupun evaluator. Namun demikian meskipun pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada faktor masyarakat sebagai komponen utama, keterlibatan lain seperti pemerintah dan swasta sangat diperlukan. Masyarakat setempat atau yang tinggal di daerah tujuan wisata sangat mempunyai peran yang amat penting dalam menjunjung keberhasilan pembangunan pariwisata di daerahnya.
Peran serta masyarakat di dalam memelihara sumber daya alam dan budaya yang berpotensi untuk menjadi daya tarik wisata tidak dapat diabaikan.Dalam konteks ini yang sangat penting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikut sertakan mereka dalam berbagai kegiatan pembangunan pariwisata.Untuk itu pemerintah sebagi fasilitator dan steakholder lainnya harus dapat mengimbaukan dan memberikan motivasi kepada masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif dalam pembangunan pariwisata. Walaupun tidak berarti bahwa masyarakat setempat memiliki hak mutlak, pembanguan pariwista berbasis masyarakat tidak akan terwujud apabila penduduk setempat merasa diabaikan, atau hanya dimanfaatkan, serta merasa terancam dengan kegiatan pariwisata di daerah mereka.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat menuntut kordinasi dan kerja sama serta peran yang berimbang antara berbagai unsur steakholder, termasuk pemerintah, swasta dan masyarakat. Disamping itu, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diarahkan untuk mengurangi tekanan terhadap objek dan daya tarik wisata sehingga pembangunan pariwisata dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.Dalam hal ini masyarakat setempat harus disadarkan atas potensi yang dimiliki sehingga mereka mempunyai rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap berbagai aneka sumber daya alam dan budaya sebagai aset pembangunan pariwisata.
Secara konseptual prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Sasaran utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan kesejahteraan masyarakat (setempat). Konsep Community Based Tourism lazimnya digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri pariwisata. Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.
Secara garis besar prinsip CBT (community bassed tourism) dapat dibagi menjadi 3 aspek yaitu berkaitan dengan akses, control dan manfaat pengembangan pariwisata bagi komunitas.Aspek akses berkaitan dengan kemampuan komunitas menjangkau/terlibat/bersentuhan dengan pengembangan pariwisata. Akses dapat diperoleh komunitas melalui kepemilikan lahan dan adanya usaha kecil yang dimiliki/dikembangkan komunitas. Aspek kontrol berkaitan erat dengan keterlibatan komunitas dalam proses pengambilan keputusan, sebagai indikator adanya kekuasaan dan daya tawar secara politis pada komunitas. Kontrol atas pengembangan pariwisata dapat dikembangkan melalaui mekanisme pemeliharaan modal sosial, berperannya lembaga lokal, ketahanan budaya dan kearifan lokal. Modal sosial adalah sumber daya internal, yang diperkuat melalaui peran lembaga lokal sebagai simbol kekuasaan. Ketahanan budaya adalah modal untuk beradaptasi dengan perubahan yang timbul dari kedatangan wisatawan. Kearifan lokal merupakan instrument komunitas untuk beradaptasi dengan perubahan namun tetap mempertahankan karakteristik lokal. Aspek manfaat adalah output yang diharapkan dari pengembangan agrowisata dimana komunitas yang lebih banyak menerima hasil kedatangan wisatawan. Indikator manfaat yang dirasakan komunitas adalah partisipasi komunitas dalam lapangan kerja dan lapangan usaha baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Agar akses dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan agrowisatasustainablekomunitas perlu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan operasional maupun manajerial usaha
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D’amore memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni;
1.      Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident)
2.      Mempromosikan dan mendorong penduduk lokal
3.      Pelibatan penduduk lokal dalam industri
4.      Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan
5.      Partisipasi penduduk dalam event-event dan kegiatan yang luas
6.      Produk wisata untuk menggambarkan identitas lokal
7.      Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh
Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach. Masyarakat lokal harus “dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati keuntungan pariwisata dan selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang mana masyarakat dapat memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci mengenai sejarah dan keunikan yang dimiliki.


4.     KESIMPULAN DAN SARAN

Salah satu prinsip kepariwisataan yang terkandung dalam Undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan adalah memberdayakan masyarakat setempat dimana masyarakat berhak berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan dan berkewajiban menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; serta membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih, berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata. Keikutsertaan masyarakat juga dijelaskan secara eksplisit dijelaskan dalam UU RI No 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan yang menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Pengembangan wisata sendiri tentunya melalui beberapa tahapan dari tahapan (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengelolaan atau pemanfaatan, (4) menikmati hasil dan (5) evaluasi. Semua tahapan tersebut tidak terlepas dari adanya peran atau kontribusi yang diberikan oleh beberapa pihak terutama masyarakat sekitar kawasan wisata. Brandon (1993) dalam Dalimunthe (2007) mengatakan perencanaan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat secara optimal melalui musyawarah dan mufakat setempat. Bentuk Partisipasi masyarakat meliputi enam kriteria, yakni:
1.      Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata.
2.      Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapat keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata.
3.      Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.
4.      Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata.
5.      Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat pendapatan (leakage) serendah-rendahnya, dan
6.      Meningkatkan pendapatan masyarakat.
          Secara umum partisipasi dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan. Hal ini menandakan bahwa ada atau tidaknya partisipasi dari masyarakat merupakan salah satu kunci penting dari suatu keberhasilan program pengembangan wisata di suatu kawasan. Dalam penerapannya partisipasi masyarakat dipengaruhi faktor-faktor yang dapat mendukung maupun menghambat. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti mencakup umur, status warga, jenis kelamin, status pekerjaan, tingkat pendidikan atau tingkat pengetahuan, agama, budaya dll. sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat berasal dari luar kendali masyarakat itu sendiri, seperti mencakup kondisi lingkungan sosial dan masyarakat, kondisi cuaca, peraturan, perizinan, finansial, keterlibatan stakeholder (pemerintah daerah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh masyarakat dan fasilitator) dll.
Selain faktor internal dan eksternal adapula faktor penghambat dan pendukung. Terkait  faktor penghambat dan pendukung sendiri mencakup faktor internal dan faktor ekternal itu sendiri yang mampu memberikan masyarakat berupa dorongan atau sebaliknya untuk berpartisipasi masyarakat. Menurut, Tosun (2000)  hambatan partisipasi mayarakat dibagi kedalam tiga bagian: (1) hambatan operational seperti, keengganan pemegang saham terhadap berbagi kekuasaan, sentralisasi administrasi publik, dan kurangnya informasi. (2) Tipe hambatan structural yaitu: Dominasi Elite, Kurangnya sumber daya keuangan, Sikap profesional, dan Kurangnya hukum yang sesuai sistem. (3) Tipe hambatan cultural/budaya yaitu: Terbatasnya kemampuan masyarakat orang miskin, Apatis, dan rendahnya tingkat kesadaran di komunitas lokal.
Melalui pengembangan Desa Wisata, masyarakat di pedesaan, khususnya pedesaan yang memiliki potensi daya tarik berupa alam maupun budaya, diberi wawasan mengenai Kepariwisataan, diberi kemampuan untuk mengambil manfaat dari keberadaan potensi dan daya tarik desanya. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang memiliki dampak dinamis yang luas dimana berbagai usaha dapat tercipta melalui kegiatan pariwisata. Komponen utama dalam kegiatan pariwisata adalah daya tarik wisata yang didukung oleh komponen lainnya, antara lain; transportasi, akomodasi, restoran, atraksi budaya dan cenderamata. Komponen tersebut menyediakan fasilitas dan layanan secara langsung dalam memenuhi kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke suatu destinasi pariwisata.
Melalui partsipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata, secara langsung maupun tidak langsung dapat berdampak pada peningkatan ekonomi di wilayah pengembangan desa wisata itu sendiri. Dampak positif yang muncul dari adanya dampak ekonomi dapat bersifat langsung (direct). Selain dampak positif langsung yang muncul, ada dampak lain yang akan timbul, seperti dampak tidak langsung (indirect impact). Menurut Tibout yang dikutip oleh Yoeti (2008) dampak pariwisata bagi perekonomian lokal pun sangat tinggi, karena uang yang dibelanjakan wisatawan merupakan uang segar (fresh money) bagi perekonomian lokal yang dapat mempengaruhi perekonomian setempat dan dapat langsung dinikmati oleh masyarakat. Dampak pariwisata dilihat dari segi perekonomian nasional (macro economic) dapat dilihat dari dua segi (Yoeti, 2008) yaitu:
1.    Dampak langsung yang ditimbulkan pariwisata dilihat dari segi
ekonomi (the direct effect that tourism usually has on the economy).
Indikator untuk hal ini diantaranya:
· Neraca Pembayaran (Its effect on Balance of Payment)
· Kesempatan kerja (Its effect on employment)
· Pemerataan Pendapatan (Its effect on the redistribution of income)
2.    Dampak secara tidak langsung (The Indirect Effect) yang ditimbulkan
kegiatan pariwisata sebagai suatu industri. Di antaranya berupa:
· Hasil pelipatgandaan (Multiplier Effect) yang ditimbulkannya.
· Pemasaran terhadap produk-produk tertentu yang berkaitan dengan
  pariwisata.
· Penerimaan pajak pemerintah.
· Dampak “peniruan” yang dapat mempengaruhi masyarakat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar